Cerita Inspirasi : Cinta adalah Argumen Tak Berujung

Bookmark and Share
Bila kau jatuh cinta, cermin adalah sahabat setiamu. Dan manakala bercermin, kau akan lebih percaya pada sosok di depanmu meski nyata nyata bayangan itu selalu membolak balikkan fakta. Kanan jadi kiri, kiri jadi kanan. Tapi kau tak akan pernah memperdulikan itu karena kau sedang dilanda asmara.
Di saat saat seperti ini, kau juga harus bersiap siap dengan
segala hal yang tadinya kau anggap tidak mungkin. Tertawa sendirian, menangis tanpa sebab, berjalan tak tentu arah, berdoa pada Tuhan dengan kalimat yang mengereta api, dan masih sederet lagi kegilaan yang bahkan tak kau sadari jika itu gila.
Ya benar, ini tentang cinta monyet. Bolehlah kita menyebutnya sebagai cinta pertama.
Saat itu saya masih duduk di bangku SD kelas enam, dan jatuh cinta pada peri kecil bernama De. Indah? Tentu saja. Sangat mudah untuk merangkum dan menggambarkannya. Kita hanya butuh menonton potongan adegan laskar pelangi saat Ikal menatap tangan A Ling.
Di usia yang sangat bocah, cara terbaik untuk mencintai seorang perempuan adalah dengan memandangnya. Begitulah, saya hanya senang memandang De dari jauh. Masa itu, lonceng tanda istirahat adalah suara yang paling merdu di dunia.
Suatu hari, tanpa sengaja saya mendapati De sedang berbincang dengan Pak Syamsul, guru olah raga untuk seluruh kelas. Sederhana, hanya berbincang saja. Tapi cukuplah membuat saya pilu, pura pura sakit agar disarankan pulang, akhirnya benar benar pulang, merebahkan diri di sofa depan televisi, lalu meraung sejadi jadinya.
Hmm.. cinta..
Kelak saat besar, saya mendapati orang dewasa berbondong bondong mendefinisikan cinta. Aneh, padahal cinta adalah argumen tak berujung.
Sampai saat ini, sulit menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi ketika saya SD.
Apa benar cinta adalah produk emosi? Atau lebih pada apa yang dikatakan dosen saya dulu. Bahwa cinta adalah kekuatan dahsyat yg bersaudara dengan kebodohan (yg mengikat). Jika berhasil mengelola kekuatan cinta, kebodohan yg menyertai tak akan menjadikannya bencana.
Cinta adalah produk emosi, bisa jadi memang begitu. Dalam bahasa yang berbeda, kita lebih senang menyebutnya reaksi kimia. Cinta bersaudara dengan kebodohan? Ini juga tidak salah. Terbukti, saat cinta De menghampiri seorang bocah SD kelas enam, hari hari selanjutnya diwarnai dengan hal hal bodoh yang menyenangkan.
Cinta cinta cinta cinta dan cinta..
Beberapa tahun yang lalu, saya disadarkan oleh sebuah peristiwa. Benturan ini mengantarkan saya pada sebuah jalan bernama keyakinan. Maka melangkahlah saya ke sana. Dari yang awalnya hanya satu langkah, sedikit demi sedikit berkembang menjadi berlangkah langkah. Hingga kemudian saya menyadari, keyakinan adalah sumber kekuatan. Nah, dari jalan inilah saya berkenalan dengan sebuah kalimat, “Cintailah orang yang kamu cintai secara wajar wajar saja..”
Hmmm, akhirnya saya menemukan cara yang pas untuk mengendarai cinta. Sebagai manusia biasa, masih saja saya bersyukur atas keterlambatan ini. Terlambat menemukan cara yang tepat. Setidaknya, tepat bagi saya sendiri. Andai dulu saya sudah tahu, pasti ceritanya akan berbeda. Saya tidak akan melewati hari dengan cara cara yang gila.
Lalu, apa arti cinta? Saya tidak tahu. Dan saya tidak sedang ingin menambah daftar definisi tentang cinta. Mungkin dengan tidak mengartikan cinta, kita akan lebih mudah merasakannya.
Saat ini, saya hanya butuh teman bicara sampai tua.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar